Catatan Perjalanan ini merupakan pengalaman sehari-hari Nona Novi. Jangan lupa tinggalkan komentar yaa
Jumat, 29 April 2011
Pusat Perbelanjaan
Nah ini dia waktunya belanja. Sekitar jam 2 taksi kami sudah ngebut menuju Siam Paragon & Siam Square Mall. Nah, di food court-nya Siam Paragon inilah saya makan siang seharga 65 B/Rp. 19.000, nasi dengan ayam dan sup, harga makanan di sini ternyata dari kakilima sampai mal besar tidak beda jauh.
Makan siang yang kilat, kami langsung menuju Platinum Fashion mall yang terletak di sebelahnya.
Platinum fashion mall ini benar-benar surganya pakaian jadi, untuk wanita khususnya. Pakaiannya asli murah-murah. Mulai dari harga rata-rata 100 B/Rp. 30.000 untuk blus/dress berbahan siffon! Biasanya di Indonesia pakaian berbahan siffon mulai dari harga rata-rata Rp. 80.000 *mahal cing.
Kalau datang ke Bangkok dan ingin berbelanja pakaian, saya rekomendasikan di sini tempatnya.
Beranjak dari Platinum, kami pergi ke tujuan akhir, Pratunam market.
Dikejar waktu yang amat mepet untuk ke bandara, saya hanya menghabiskan waktu 1 jam untuk berbelanja, termasuk jalan kakinya. Saya dapat 1 dress siffon 100 B, pashmina 2 buah @ 50 B, kaos-kaos gambar Thailand 6 buah @ 100 B, 1 magnet 120 B (muahal!), 1 piringan pajangan Thailand 190 B (mahal juga!), 2 kaos gambar kartun @ 50 B dan 1 kaos khusus untuk Songkhran festival 70 B ^.^.
And finally, well, that's the end of my trip in Bangkok...
Habis check in di Suvarnabhumi pas mau pulang.
Madame Tussauds Bangkok
มาดามทุสโซ กรุงเทพฯ!
Akhirnya, sampai juga saya di mal Siam Discovery untuk pergi ke Madame Tussauds-nya Bangkok. Fyi, tempat ini relatif baru buka tahun kemarin kalau nggak salah. Lagi-lagi teman saya ngotot advise saya masuk museum patung lilin ini. Saya ogaaah banget pada awalnya! Bukannya saya nggak suka museum, tapi mengingat kalau harus membayar tiket masuk 800 B/Rp. 240.000 untuk melihat patung-patung, lebih baik saya habiskan uang saya untuk hal yang lebih penting, hehe, tentunya saya nggak bilang gitu ke teman saya.
Teman saya bilang, Madame Tussauds di negara lain lebih mahal, dan saya jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan ini. Aduh, kalau dia udah ngomong gitu, ya saya percaya saja.
Saya dan seorang teman Laos saya akhirnya masuk ke dalam. Ternyata harga tiketnya 300 B/Rp. 90.000 saja. Rupanya, harga tiket itu adalah harga untuk warga Thailand! Teman Indonesia yang akhirnya bertemu dengan saya di dalam museum bercerita, kalau dia harus membayar 800 B untuk masuk ke dalamnya. Alhamdulillah, dapat korting lagi karena tampang ... *mikir
Setelah saya browsing sana-sini sekembalinya saya dari Thailand, rupanya harga tiket masuk di negara lain lebih mahal dari yang saya bayar, sekitar Rp. 170.000! Alhamdulillah... (lagi). Setidaknya untuk cerita anak-cucu di masa datang, haha.
Dari sekian banyak foto yang saya ambil di sana, dua foto inilah yang menjadi favorit saya: Satu saat bersama Mozart, dan satu saat bersama Oprah!
Oh ya, fyi, begitu keluar area pajang, kita akan menemukan toko suvenir khas museum. Saran saya, belilah sesuatu walau hanya barang kecil, karena tidak setiap hari kita akan mengunjungi museum ini, lagipula ternyata, harga suvenirnya bersaing dengan harga suvenir khas Bangkok. Saya beli mug mini dengan tulisan "Madame Tussauds" dengan harga 120 B/Rp. 36.000, sama dengan harga 1 buah magnet khas Thailand ^.^
Kamis, 28 April 2011
Wat Suthat Thepphawararam วัดสุทัศนเทพวราราม
Akhirnyaaa.... Ini adalah Wat kedua dan terakhir yang saya kunjungi di Thailand. Setelah setengah ngotot, akhirnya teman saya mengajak masuk saya ke dalam Wat ini.
Lagi-lagi masuknya gratis (karena tampang), otherwise harus bayar 20 B kalo nggak salah. Lebih mahal dari masuk museum di Indonesia yang rata-rata Rp. 2.500. Haha...
Setelah saya memasuki kawasan Wat ini, saya baru mengerti maksud teman saya mengapa kami harus mengunjungi tempat wisata yang penting-penting saja di Thailand. Setelah saya saksikan sendiri, saya baru percaya, bahwa rupa dan desain Wat-wat itu cenderung mirip satu sama lainnya. Seperti masjid di negara kita, alias tempat ibadah, tidak akan jauh berbeda....
Saya senang dapat mengunjungi Wat ini, karena suasananya betul-betul sepi. Didalam ruang sembahyang, ada sekelompok orang yang sedang berdoa sama-sama. Seperti orang pengajian, kalau di muslim. Tidak berniat mengganggu dan menghormati mereka, saya hanya sesekali mengambil foto di luarnya.
Setelah lelah dan penat akibat udara panas, saya dan teman-teman leyeh-leyeh dulu di area Wat.
Penjelasan mengenai Wat Suthat:
Wat Suthat Thepphawararam (Thai: วัดสุทัศนเทพวราราม, Thai pronunciation: [wát su.tʰát tʰêːp.pʰa.wáʔraːraːm]) is a royal temple of the first grade, one of six such temples in Thailand. Construction was begun by His Majesty King Rama I in 1807 (B.E. 2350). Further construction and decorations were carried out by King Rama II who helped carve the wooden doors, but the temple was not completed until the reign of King Rama III in 1847 (B.E.2390). This temple contains the Buddha image Phra Sri Sakyamuni or "Sisakayamunee" which moved from Sukhothai province. At the lower terrace of the base, there are 28 Chinese pagodas which mean the 28 Buddhas born on this earth. Wat Suthat also contains Phra Buddha Trilokachet in the Ubosot (Ordinary Hall) and Phra Buddha Setthamuni in Sala Kan Parien (Meeting Hall)
Phra Si Sakyamuni, Buddha-Statue in Wat Suthat
Oh ya, bagi Anda yang penasaran dengan Wat-wat terkenal se-Bangkok, ada baiknya melihat daftar ini untuk list kunjungan.
Sao Ching Cha เสาชิงช้า
Sao Ching Cha เสาชิงช้า atau Giant Swing ini nggak sepeti ayunan yang saya bayangkan: sebuah ayunan yang lengkap dengan tempat duduknya.
Menurut versi Wiki:
The Giant Swing (Thai: เสาชิงช้า, Sao Ching Cha) is a religious structure in Bangkok, Thailand, Phra Nakhon district, located in front of Wat Suthat temple. It was formerly used an old Brahmin ceremony, and is one of Bangkok's tourist attractions.
http://en.wikipedia.org/wiki/Giant_Swing
Nggak banyak yang bisa diceritakan mengenai Sao Ching Cha ini. Di Wikipedia semua ada cerita atau historisnya, tapi tidak dengan saya waktu itu. Saya sama sekali tidak mengerti kenapa monumen ini menjadi tempat wisata, hehe.
Kalau dipikir... Indonesia banyak sekali memiliki monumen yang tak kalah bagusnya, tapi tak kalah ditelantarkannya, right?
Sao Ching Cha dilihat dari depan Wat Suthat.
Pusat Distrik Phra Nakhon พระนคร (2)
Selain Democracy monument, saya juga melihat Mahakan Fort dan satu Wat-entah apa namanya- sepanjang perjalanan kami menuju Giant swing (Thai: เสาชิงช้า, Sao Ching Cha). Sebenarnya saya nggak begitu tertarik sih pergi kesana, secara saya belum belanja habis-habisan di daerah Siam Paragon dan sekitarnya. Tapi, sekali lagi, karena teman saya ngotot, maka jadilah saya kesana.
Diiringi panas terik yang luar biasa, kami tiba di lapangan depan kantor walikota Bangkok. Wow, saya sempatkan foto-foto di depan kantornya, dan ada semacam fort/ruang bawah tanah tempat parkiran mobil di bawah lapangan itu. Ck ck ck...
Kemudian, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke deretan toko yang ada di sebelah barat kantor walikota. Toko-toko yang ada disini kebanyakan menjual peralatan untuk beribadah orang Budha. Teman saya melihat-lihat patung Budha kecil untuk dibeli sebagai oleh-oleh bila ia nanti pulang ke Laos, tapi akhirnya tidak jadi beli karena mahal-mahal. Hm, saya hanya bisa jelalatan, mana tau diantara toko-toko alat ibadah terselip toko suvenir biasa, haha, ternyata tidak ada....
Diiringi panas terik yang luar biasa, kami tiba di lapangan depan kantor walikota Bangkok. Wow, saya sempatkan foto-foto di depan kantornya, dan ada semacam fort/ruang bawah tanah tempat parkiran mobil di bawah lapangan itu. Ck ck ck...
Kemudian, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan ke deretan toko yang ada di sebelah barat kantor walikota. Toko-toko yang ada disini kebanyakan menjual peralatan untuk beribadah orang Budha. Teman saya melihat-lihat patung Budha kecil untuk dibeli sebagai oleh-oleh bila ia nanti pulang ke Laos, tapi akhirnya tidak jadi beli karena mahal-mahal. Hm, saya hanya bisa jelalatan, mana tau diantara toko-toko alat ibadah terselip toko suvenir biasa, haha, ternyata tidak ada....
Rabu, 27 April 2011
Pusat Distrik Phra Nakhon พระนคร (1)
http://en.wikipedia.org/wiki/
Eee... Dibawah ini adalah taksi (dengan meter) yang kebetulan sering kami tumpangi kalau pergi-pergi. Sebenarnya, kalau untuk jarak tempuh sekitar setengah jam, taksi bisa diandalkan menjadi transport yang lumayan murah di sini, apalagi kalau untuk 4 orang. Kereta sebagai MRT juga ada, lebih murah, asalkan kita nggak keberatan naik-naik tangga ke setiap stasiun.
http://www.skyscrapercity.com
Hari keempat ini adalah hari terakhir saya di Thailand. Betul-betul sedih rasanya meninggalkan kota Bangkok, dan teman-teman baik saya terutama.
Di hari terakhir ini, pagi-pagi saya sudah beres packing, dengan menyisakan sedikit space untuk belanjaan yang pasti masih banyak. Oh ya, bagi orang yang tidak mau diribetkan dengan urusan koper seperti saya (tidak punya juga), saya cukup membawa ransel P*lo besar dengan extra bag plastik daur ulang yang bisa dilipat-lipat. Fyi, extra bag plastik tambahan itu saya beli di toko Oke Doku cuma seharga Rp. 6000 saja, bisa menampung barang sampe 2 kilo saya simpan khusus untuk diisi suvenir, dan sudah menemani travel saya ke berbagai negara.
Kali ini saya memberanikan diri keluar apartemen sendirian pagi-pagi. Saya keluar sekitar jam 8. Saya jalan melewati pabrik (home industry) kertas printing, berjalan menelusuri toko-toko yang masih tutup, akhirnyaa... 7eleven! Saya beli tambahan oleh-oleh cokelat Alfie seharga 20 B saja. Tidak ada hal lain, kemudian saya kembali ke apartemen. Saya mampir untuk membeli 2 botol air mineral di toko di lantai dasar apartemen untuk teman Myanmar saya.
Perjalanan hari ini dimulai dengan naik taksi ke distrik Phra Nakhon. Saya akhirnya mengalami juga kemacetan ala Bangkok. Selama 1 jam kami stuck di dalam taksi. Saya tidur dan tidur, teman saya bilang kalau dia sudah cape tidur, ahahaha. Sambil menunggu tiba di daerah yang dituju, iseng saya rekam lagu Thai yang diputar di taksi, impresif.
Boleh juga Phra Nakhon ini. Selain ada Grand Palace dan sekitarnya, kunjungan wisata juga bisa diarahkan ke tempat wisata yang tak kalah pentingnya di Bangkok. Ada Phra Kan Fort yang letaknya dipinggir jalan, Rama III monument, Democracy monument seperti gambar di bawah ini, Wat Ratchanadda, Kantor walikota Bangkok, Wat Rachabopit, Wat Suthat, Giant Swing (Sao Ching Cha), Wat Saket (Golden Mountain temple). Semua itu letaknya berdekatan.
Chinatown Bangkok
Ini malam ketiga saya di Thailand. Setelah puas siangnya ke seputar kawasan Banglamphu dan Dusit, sekarang saya mau dibawa teman saya ke China Town-nya Bangkok. Awalnya mereka berencana membawa saya ke Khao San road, tapi entah kenapa tidak jadi, mungkin banyak yang tidak bisa dilihat juga.
Kami pergi naik bus dari kawasan Phaya Thai ke China Town dengan bis, yang naudzubillah lama banget nungguin gak lewat-lewat. Akhirnya kami sampai di China Town jam 8 malam.
Ini adalah tur tercepat dan berkesan aneh yang pernah saya lakukan selama di Thailand.
Pertama, turnya hanya 1 jam, dari jam 8 sampai jam 9 saja. Itu pun kami hanya menelusuri jalan-jalan serta gang *worthless
Kedua, teman saya mengajak saya beli makan malam untuk saya di 7eleven. Memang ada nasi kotak yang tulisannya halal, tapi judulnya Sweet chicken with BLACK STICKY RICE. Ergh, itu adalah ayam bumbu manis tanpa tulang dan nasi ketan hitam yang lengket. Soal harga? Super murah, hanya 25 B/Rp. 7.500 saja. Nah, waktu membayar nasi ini sih gak ada masalah, saya tinggal setor uangnya, tapi tiba-tiba si kasirnya bicara sesuatu dalam bahasa Thai pada saya, yang otomatis saya nggak ngerti artinya...
Memang dia kira saya orang Thai apa... *ngaca
Lama saya bengong akhirnya saya bilang, "I don't understand" (kata-kata sakti saya setiap diajak ngomong sama orang Thai). Celingak-clinguk nyariin teman saya, eh teman saya juga raib entah kemana. Hwaduh, ditinggal translator pribadi ini bagaimanaaaa... Sepertinya si kasir itu juga nggak bisa bahasa Inggris, walhasil dia cuma bilang, "Microwave?". Ooh, maksudnya nawarin saya apa mau makanannya diangetin dulu di microwave, fiuh...
Di 7eleven ini saya juga iseng beli vitamin C dan coklat gambar lucu buat oleh-oleh, harganya 10 B/Rp. 3.000 untuk setiap item. Lumayan.
Teman saya lalu menanyakan, apa saya bisa makan malam hanya dengan itu saja, saya jawab, bisa. Bisa dong, dengan persiapan cereal, obat gosok perut dan obat masuk angin yang saya bawa, yah mantaplah. Hehe, saya maklum dia tanya begitu.
Serupa dengan makanan itu, saya penasaran dengan Sweet mango with sticky rice yang direkomendasikan trip advisor. Saya sempat mau memesannya ketika sedang berada di Big C Mall kemarin. Apalagi yang di Big C adalah Durian with sticky rice, yummy. Tapi saya tidak jadi pesan karena teman saya bilang, "It's not like human food". Lah, trus apa dong, animal food? #LOL
Harga makanan ini di 7eleven benar-benar lebih murah (dengan porsi yang sama) daripada catering di pesawat (min. Rp. 30.000). Seven-eleven ini persis kayak Alfamart dan Indomaret-nya Indonesia. Ada juga 7eleven yang dibuka di Jakarta, tapi kalau dipikir-pikir, cuma minimart kayak gini aja kok orang-orang di Jakarta pada heboh dateng ke sana sih? Hmm... dasar sosialita.
Saya makan 'bekal' itu di warung pinggir jalan bersama teman-teman yang udah jelas mesen makanan gak halal. Ada pengemis berkostum barongsai menghampiri kami, haha lucu juga. Weird...
Bener-bener nggak banyak yang bisa dilihat di China Town ini, selain foto di depan patung babi, hehe, kami hanya menemukan banyak penginapan dengan lampion warna warni. Cuteeee...... (>.<)
Oh ya, jangan sampai kemalaman di sini. Toko-toko sudah pada tutup sekitar jam 9-10 *sigh. Suasana jadi sepi dan sereemm. Kesannya: Rekor, ke China Town cuma buat makan bekal #LOL
Sekitar Ananta Samakhom พระที่นั่งอนันตสมาคม
Saya bilang sekitar, karena pada kenyataanya kami tidak pernah masuk Ananta Samakhom Throne hall itu. Lokasinya terletak di daerah Dusit. Dekat-dekatnya ada patung King Chulalongkorn (Rama V), Dusit Zoo (yang katanya nggak lebih bagus dari kebun binatang ITB punya), Vimanmek Mansion, Chitlada Palace, Wat Indrawiharn dan Wat Benjamabophit (Marble Temple). Semua itu dapat dijelajahi dengan berjalan kaki.
Niat teman saya ternyata ingin mengajak saya ke Ananta Samakhom Throne hall, tapiii... karena saya tidak googling dulu tempat itu, walhasil kami menemui kekecewaan karena tempat itu tutup pada hari Senin sewaktu kami datang. Another nice experiences...
Saya hanya sedikit heran, kenapa throne hall yang sudah jadi museum ini tidak jadi tempat tujuan trip advisor, padahal dari penampakan luarnya lebih bagus dari Vimanmek Mansion. Yah, mungkin karena Vimanmek mansion dapat masuk gratis kalau kita masih punya tiket masuk dari Grand Palace...
Bagaimana dengan tempat wisata lain di sekitar Dusit yang tadi saya sebutkan? Kami tidak mengunjunginya SATU pun. Saya mau protes dalam bahasa Indonesia pun percuma, mereka nggak bakal ngerti ucapan saya, hehe. Paling salah seorang teman saya cuma bilang: Indonesia has better and nicer! (tempat wisatanya) Kalau udah gitu saya mau bilang apa juga percuma deh. Maklum, teman-teman saya ini pernah TIGA BULAN tinggal di Indonesia.
Dusit Zoo tampak depan.
Sembari berjalan sekeliling throne hall, kami akhirnya menemukan juga bazar makanan dan pernak-pernik. Murah banget cuy, sayang kami nggak punya banyak waktu karena saya harus mengejar waktu solat Ashar.
Dari tempat bazar ini saya membeli:
1. Tempat kosmetik warna putih: 20 B/Rp. 6000
2. Tempat Hp: 5 B/Rp. 1.500
3. Tas tangan gambar Winnie the pooh: 20 B/Rp. 6.000
4. Lipstik merek 'Ka' Made in Thailand yang di 7 Eleven 59 B, disini lagi promosi cuma 20 B/Rp. 6000
5. Wind Chime bentuk burung dari batok kelapa 60 B/Rp. 18.000
Dan... dengan demikian selesailah perjalanan sampai sore hari... Hehe
Selasa, 26 April 2011
Chao Phraya แม่น้ำเจ้าพระยา (2)
Perjalanan kami berkeliling sungai Chao Phraya berlangsung lama. Untuk menghabiskan waktu, saya mengamat-amati berbagai macam rumah dan kehidupan yang ada di pinggiran sungai.
Banyak rumah yang dibangun di emperan sungai, seperti di Indonesia. Tapi, jangan bayangkan kondisi rumahnya seperti rumah di Indonesia, haha, di sana rumahnya banyak berupa rumah panggung bagus, nggak berkesan kumuh. Banyak penduduk yang menyediakan juga 'dermaga' untuk perahu dibelakang rumahnya. Kemudian saya berpikir, kalau antar tetangga bisa berkunjung dengan perahu dong *males jalan. Sungai di sana terpetak-petak jadi banyak belokan/gang atau 'Soi' dalam bahasa Thai. Ampun deeh.. orang Thai benar-benar memanfaatkan betul transportasi sungai ini.
Berhubung, semua teman saya tiada yang bersuara sepanjang perjalanan, saya saja yang sibuk bicara-tanya ini itu, termasuk memperhatikan cara si abang tukang perahu ini mengemudikan perahu kami.
]
Selepas perjalanan tur kami dengan perahu, kami mulai mencari makanan untuk makan siang. Eergh... agak lama karena rata-rata warung menjual pakan tidak halal. Selusur menelusur, untungnya teman saya tau tempat makan muslim halal. Tempatnya persis dipinggir sungai Chao Phraya! Wow...
Jadilah saya makan nasi Briyani (nasi kuning India dengan paha ayam), minum air mineral, dan desert salad sayuran bumbu kacang dengan kentang goreng kripik beserta agar-agar. Slurrp!...
Seusai makan siang, kebingungan mulai terjadi. Saya tidak tau mau dibawa kemana oleh teman-teman saya ini. Yang penting ikut saja lah...
Kami menyusuri jalan sampai keluar pasar. Di pasar, teman saya sempat membeli harummanis untuk saya. Harum manis di sini bentuknya kasar, cara makannya dengan dibungkus dadar hijau manis.
Sementara teman saya masih berkutat dengan kebingungan akan rencana tujuan trip selanjutnya, akhirnya kami memutuskan untuk ngaso dulu di Thammasat University yang letaknya tak jauh dari sungai Chao Phraya. Universitasnya bagus dan bersih, meskipun gedung-gedungnya tampak sudah tua.
Chao Phraya แม่น้ำเจ้าพระยา (1)
(Keterangan gambar: Wat Phra Kaew dan Grand Palace dilihat dari perahu boat di sungai Chao Phraya, beautiful & magnificent!)
Seusai tur ke Grand Palace dan Wat Phra Kaew, saya diajak teman-teman saya menyusuri jalan sepanjang gerbang, entah mau diajak kemana.
Saya melihat banyak penjual patung budha mini untuk liontin, uang kuno, dan obat-obatan tradisional. Lalu, kami berbelok ke daerah pasar yang entah apa namanya, tau-tau saya sudah berada di pinggir sungai Chao Phraya.
Dengan 25 B/orang, kami sepakat menyewa perahu untuk berkeliling sungai selama satu jam. Sangat-sangat romantis! Meskipun sungainya tidak bisa dibilang bersih, yaah... agak lebih bersih dari sungai Ciliwung atau Cisadane di Indonesia.
Saya baru menyadari, saking terobsesinya sama Wat-wat, disekitar pinggir sungai banyak sekali Wat-wat didirikan. Lalu, pendirian Wat itu saya pikir seperti masjid di Indonesia saja yang menjamur dimana-mana. Bedanya kalau masjid, turis/non-turis masuknya gratis, alias tidak dipungut biaya tiket masuk! Halah... Oh ya, warga Thai niat pula membangun semacam 'dermaga' lengkap dengan tangga di belakang Wat yang menghadap sungai langsung, hm... buat warga yang mau datang ke Wat lewat sungai mungkin yak!
Nah, begitu separuh perjalanan, perahu kami mampir di suatu tempat yang banyak ikannya - entah ikan apa. Lalu ada seorang bibi penjual roti teriak-teriak pada kami di pinggir sungai. Saya yang nggak ngerti apa yang dia bilang cuma bisa pasang tampang bengong. Teman saya tiba-tiba mengulurkan uang 70 B kepada Bibi itu untuk ditukar dengan roti tawar-yang digunakan untuk ngasih makan ikan. Pemaksaan gak langsung *sigh, akhirnya ini saya alami juga.
Senin, 25 April 2011
Grand Palace พระบรมมหาราชวัง
The Grand Palace (Thai: พระบรมมหาราชวัง, Phra Borom Maha Ratcha Wang) is a complex of buildings in Bangkok, Thailand. It served as the official residence of the Kings of Thailand from the 18th century onwards. Construction of the Palace began in 1782, during the reign of King Rama I, when he moved the capital across the river from Thonburi to Bangkok. The Palace has been constantly expanded and many additional structures were added over time. The present King of Thailand, King Bhumibol Adulyadej, however, resides at the Chitralada Palace.
http://en.wikipedia.org/wiki/Grand_Palace
Nah inilah bahasan mengenai Grand Palace. Pada awalnya saya salah mengira bahwa Wat Phra Kaew itu adalah Grand Palace, tapi setelah dijelaskan dan liat sendiri, saya baru ngeh, haha.
Grand Palace Chakri Mahaprasad Hall bagian depan,
kok lebih bagusan Ananta Samakhom Throne Hall yang di Dusit ya, hehe *peace....
Sesi selanjutnya adalah foto-foto bersama tentara penjaga gerbang, gratis kok. Tidak lupa sesudahnya saya mengucapkan "Khob khun kha" yang berarti terima kasih dalam bahasa Indonesia.
Saya datang pas bulan April, bulan terpanas di Thailand. Saat seperti ini sunblock dan air mineral adalah sahabat terbaik saya... XD
Wat Phra Kaew วัดพระแก้ว (2)
Daann... inilah bagian dalam area Wat.
Candi Phra Sri Rattana yang keemasan dan bergaya candi di Sri Lanka beserta Perpustakaan Phra Mondop disebelahnya.
Kinnon – mythological creature, half bird, half man
Thotkhirithon, giant demon (Yaksha) guarding an exit to Grand Palace
Garuda, dan patung singa, hiasan dekat pintu masuk ke altar utama.
Mosaik kaca berwarna yang ada nempel dimana-mana. Cool...
Bagian pembatas 'pendopo' yang memiliki ukiran keramik bunga-bungaan di setiap sisinya.
Miniatur candi yang sekilas mengingatkan kita akan candi Borobudur atau Prambanan di Indonesia.
Sisi lain kompleks, wonderful, isn't it?
Kalau dibandingkan atau ditanya, lebih mengesankan mana antara Ampahawa floating market dengan Wat Phra Kaew ini, saya pribadi terus terang akan menjawab Amphawa.
Kenapa? Dari berbagai macam advisor trip to Bangkok memang menyarankan untuk pergi ke sana. Dan saya pikir itu memang harus dilakukan, karena Wat tersebut mewakili Wat lainnya, terutama dari segi keindahan dan kekompleksannya. Tapi perlu diingat, bagi warga Thai sendiri, tempat ini adalah tempat ibadah, bukan turis spot.
Nah, itu pula yang saya rasakan, begitu melihat teman-teman Laos saya beli peralatan ibadah, beribadah/sembahyang/berdoa, dan memberikan sumbangan pula, saya malah ingat ibadah saya sendiri, hmm...
Souvenir yang saya beli di sini, dan saya rekomendasikan untuk dibeli di sini:
- Dompet koin warna-warni gambar gajah Thai, satu set 5 buah, harga 125 B/Rp. 37.500
- Gantungan kunci (besi) gajah warna perak/emas, satu set 10 buah, harga 100B/Rp. 30.000.
Harga di atas sudah ditawar dan ternyata lebih murah dari harga di pasar.
Candi Phra Sri Rattana yang keemasan dan bergaya candi di Sri Lanka beserta Perpustakaan Phra Mondop disebelahnya.
Kinnon – mythological creature, half bird, half man
Thotkhirithon, giant demon (Yaksha) guarding an exit to Grand Palace
Garuda, dan patung singa, hiasan dekat pintu masuk ke altar utama.
Mosaik kaca berwarna yang ada nempel dimana-mana. Cool...
Bagian pembatas 'pendopo' yang memiliki ukiran keramik bunga-bungaan di setiap sisinya.
Miniatur candi yang sekilas mengingatkan kita akan candi Borobudur atau Prambanan di Indonesia.
Sisi lain kompleks, wonderful, isn't it?
Kalau dibandingkan atau ditanya, lebih mengesankan mana antara Ampahawa floating market dengan Wat Phra Kaew ini, saya pribadi terus terang akan menjawab Amphawa.
Kenapa? Dari berbagai macam advisor trip to Bangkok memang menyarankan untuk pergi ke sana. Dan saya pikir itu memang harus dilakukan, karena Wat tersebut mewakili Wat lainnya, terutama dari segi keindahan dan kekompleksannya. Tapi perlu diingat, bagi warga Thai sendiri, tempat ini adalah tempat ibadah, bukan turis spot.
Nah, itu pula yang saya rasakan, begitu melihat teman-teman Laos saya beli peralatan ibadah, beribadah/sembahyang/berdoa, dan memberikan sumbangan pula, saya malah ingat ibadah saya sendiri, hmm...
Souvenir yang saya beli di sini, dan saya rekomendasikan untuk dibeli di sini:
- Dompet koin warna-warni gambar gajah Thai, satu set 5 buah, harga 125 B/Rp. 37.500
- Gantungan kunci (besi) gajah warna perak/emas, satu set 10 buah, harga 100B/Rp. 30.000.
Harga di atas sudah ditawar dan ternyata lebih murah dari harga di pasar.
Kamis, 21 April 2011
Wat Phra Kaew วัดพระแก้ว (1)
Para bhiksu di depan jalan menuju gerbang Wat Phra Kaew, dibelakangnya ada deretan penjual suvenir, hehe.
Hari kedua di Bangkok. Setelah semalam kaki digosok counterpain, hari ini gosok-sogok lotion sun block. Edan, cape tenan.
Perjalanan hari ini bakal tak kalah melelahkan karena tempat wisata yang highly recommended dari segala macam travel advisor akan kami kunjungi, Wat Phra Kaew dan Grand Palace di daerah Banglamphu. Setelah sempat bersitegang antar sesama teman, saya tidak berencana meneruskan perasaan tidak nyaman sehingga mengganggu liburan saya. Yang jelas, teman-teman Laos saya bersitegang dengan menggunakan bahasa Lao yang tidak saya mengerti, hehe.
Sekitar jam sepuluh kami berangkat. Jalanan lancar walau kami naik taksi. Perjalanan dari daerah Phayathai ke Banglamphu area dengan membayar 80 B/Rp. 24.000 saja untuk taksi argo-patungan pula.
Sesampainya disana, saya berulang kali diingatkan teman saya untuk tidak bicara sepatah kata pun begitu masuk pintu gerbang kawasan Wat. Nah, itu berguna jika kita ingin dapat masuk secara gratis,kalau enggak kita harus bayar tiket 350 B/Rp. 105.000.
Jadi, tips masuk gratis ala saya adalah sebagai berikut.
1. Yang paling penting: punya tampang Chinese kulit agak gelap/kuning (turunan), Javanese, Sundanese atau Bataqnese, beberapa suku berkulit sawo matang Indonesia acceptable juga kok. Yang tidak bisa tertolong adalah kulit hitam (negro) dan kulit putih banget (bule).
2. Pakai baju biasa ajah, yang penting nggak ketat, norak (eye catching), dan menyerap keringat. Sendal yang sopan juga bisa dipake (nanti juga harus dicopot)
3. Masuk melalui pintu gerbang utama deket taman burung dara. Masuk jangan bersama-sama rombongan yang lain, pokoknya hindari keramaian (justru).
4. Masuk pintu gerbang, hindari loket tiket dengan berjalan memutar. Begitu masuk komplek, langsung ambil jalan kiri yang sepi, jangan jalan lurus bersama dengan turis. Di area jalan sebelah kiri ini banyak mobil-mobil diparkir oleh yang empunya.
5. Di depan pintu gerbang, please don't say anything.
Bagi yang beragama Budha, boleh mencoba ikut berdoa di depan altar begitu kita masuk. Coba berperan sebagai orang bisu dengan menyodorkan uang 100 B kepada penjual peralatan berdoa. Aslinya sih peralatannya seharga 20 B saja, tapi daripada ketauan nggak tau harganya. Peralatannya meliputi bunga (lotus kayaknya), lilin kecil, dupa 2 biji, dan kertas emas yang harus ditempelkan di patung Budha mini di di samping altar.
Begitulah tipsnya, hehe, silakan dicoba.
Langganan:
Postingan (Atom)