Senin, 28 November 2011

Pecinan (2)



















Kayak kota tua di negara Cina...

Salah satu yang menarik ketika kita jalan-jalan di kawasan pecinan adalah ragam hias rumah toko yang terdapat di kanan kiri jalan.

Rumah toko ini menggunakan konstruksi dari bahan batu bata dan kayu. Umumnya bangunan-bangunan ini berhimpitan satu sama lainnya dan memanjang ke belakang. Bagian bangunan yang masih tampak asli hanya pada bagian atapnya yang meruncing. Bila kita perhatikan lebih seksama, beberapa rumah kuno ini mempunyai lantai yang lebih rendah daripada jalan raya, hal ini menunjukkan telah terjadi peninggian pada jalan tersebut seperti yang dapat kita lihat pada toko obat Lay An Tong.

Pada saat ini, Glodok telah berkembang menjadi pusat kegiatan perdagangan warga Tionghoa, dan tentunya dengan aktifitas warganya. Karena itu, ketika kita menelusuri jalan-jalan di kelurahan Glodok, diperlukan banyak imajinasi dan fantasi tempo dulu. Bukan saja untuk membayangkan tragedi 1740, tetapi juga masyarakat pada masa itu, ketika lalu lalang orang dengan rambut dikepang bagian belakang dan bagian depan di cukur licin.

Sejak Abdurrahman Wahid menjadi presiden, banyak kebudayaan Tionghoa yang sejak Orde Lama dan Orde Baru dilarang, kini dihidupkan diantaranya Perayaan Tahun Baru Cina (Imlek) dan Cap Go Meh. (from booklet pak Kartum).

Rumah atap walet=rumah orang kaya ~jaman dulu

















Rumah macam begini bisa masuk dan didaftarkan sebagai cagar budaya, tetapi pemiliknya lebih ingin menjualnya deh. Hm....





















Lukisan gaya Cina yang masih bisa ditemui di tiang penyangga langit-langit
















Menelusuri gang-gang sempit tempat komunitas Tionghoa banyak tinggal






















Bener-bener asli lho, bahkan toko-toko itu juga banyak yang masih beroperasi sampe sekarang.

Untuk mengasah nyali, pada suatu hari saya pun pergi ke daerah itu sendirian.

Tujuan sebenarnya adalah pasar pagi Asemka yang menjual suvenir-suvenir pernikahan yang luar biasa murahnya, seperti Jatinegara. Cuma kalau di Jl. Asemka ini lebih mudah dicapai dari rumah saya, maka saya memilih untuk jalan-jalan di sekitar Asemka.

Menelusuri jalan-jalan yang semula saya sudah pernah lewati membutuhkan tenaga ekstra, untungnya saya berpedoman pada foto-foto jalan yang saya ambil waktu pergi tur pecinan. Di kawasan ini, saya berhasil menemukan mall Tionghoa yang letaknya benar-benar tersembunyi di dalam toko dan tidak tampak dari luar jalan. Wow.














Setelah memutuskan tidak mendapatkan barang yang saya cari di sana, saya pun memutuskan untuk pulang. Di perjalanan pulang saya bareng dengan rombongan turis yang di pandu oleh orang Indonesia juga menyusuri kawasan pecinan. Mereka tampak kagum dan hepi *paling penting.

Pecinan (1)
















Ket.: Klenteng Dharma Bhakti/Jin De Yuan

Hm, saya mau sarikan dulu informasi dari booklet yang saya dapat dari Pak Kartum selaku penyelenggara tur.

Glodok atau pecinan adalah salah satu kampung tua di Jakarta yang berada di luar kastel Batavia (Omellanden) yang dijadikan pemukiman bagi orang-orang Cina. Konon kata “Glodok” mengacu pada bunyi air mancur di sekitar tempat pancuran yang berbunyi grojok-grojok. Sementara nama Pancoran sendiri berasal dari tempat penjernihan air atau “Pancuran”.

Pasca pembantaian Cina tahun 1740, kawasan ini dijadikan konsentrasi untuk tempat tinggal orang-orang Cina. Daerah yang dipilih adalah Glodok yang lokasinya tidak jauh dari tembok kota bagian selatan yang diperkirakan lokasinya di area Museum Bank Mandiri saat ini. Alasan penguasa VOC menempatkan mereka di Glodok agar pengawasannya lebih mudah, oleh karena itu di dekat tembok tersebut dibangun Bastion yang dilengkapi dengan meriam. Sebenarnya kebijakan untuk menempatkan orang berdasarkan etnis juga berlaku untuk suku-suku lain seperti Melayu, Bali, Banda, Jawa dan lain-lain. Makanya di Jakarta ini kita mengenal nama kampung Melayu, kampung Bali, kampung Bandan, dan lain sebagainya.

Di kawasan pecinan ini setidaknya terdapat lima klenteng yang dapat kita kunjungi, antara lain Klenteng Budhidarma, Ariya Marga, Tanda Bhakti, Toa Se Bio, dan Jin de Yuan. Klenteng-klenteng ini telah berusia lebih dari dua ratus tahun yang lalu, walaupun sudah terjadi renovasi di bagian sana-sini.




















Ket.: Di depan pintu masuk klenteng Budhidarma, hehe, di pinggir jalan

Selain klenteng, juga terdapat gereja Maria de Fatima yang berada di Petak Sembilan. Gereja dengan gaya arsitektur Cina ini pernah dimiliki oleh Kapiten Cina dari marga Tjioe. Disini terdapat miniatur bukit Fatima.





















Ket.: Hiasan patung di luar gereja Maria De Fatima
















Ket.: Bukit Fatima


Hm, saya agak kurang paham ceritanya, tapi yang pasti berada di kawasan ini saya merasa seperti di negeri Tiongkok saja, hmm.




















Ket.: Pintu masuk klenteng Ariya Marga






















Ket.: Patung kuda milik Guan Yu (sejarah tiga kerajaan) di depan klenteng Ariya Marga

















Ket.: Tampak depan klenteng Tanda Bhakti, dijaga 2 patung singa Bao Gu Shi

Menelusuri kawasan ini kita seperti membayangkan dan berimajinasi tempo dulu. Mencari-cari benda peninggalan yang masih asli seperti nomor rumah, lukisan pada atap rumah, kerangka plafon rumah khas Cina, jumlah pintu depan rumah, bentuk atap burung walet, dan sebagainya.

















Ket.: Kirab Fat Cu Kung

Yang membuat acara jalan-jalan kami lebih beruntung lagi adalah acara kami bertepatan dengan kirab Fat Chu Kung. Hehe, saya lupa itu tepatnya acara apa, tapi yang pasti dimana-mana banyak spanduk berbahasa Cina tentang kirab itu, semacam miniatur kuil yang di panggul, barongsai, dan naga plastik yang dibawa banyak orang menyusuri jalan. Oh ya, kirab ini diikuti rombongan dari Banten sampe Jawa Barat lho.

Menjelang siang, acara semakin ramai dan jalan-jalan sekitar Petak Sembilan penuh dengan orang-orang berseragam merah yang akan mengikuti kirab. Kalau kami, kami juga berpakaian merah-merah lho... *ga mau kalah
















Ket.: Klenteng Dharma Bhakti/Jin De Yuan tampak depan, mirip-mirip Tanda Bhakti ya!




















Ket.: Akhirnya... di depan Jin De Yuan!

















Ket.: Bagian dalam Jin De Yuan

Matsuri Hari Panas
















Kali ini saya hadir untuk yang kedua kalinya dalam Jak-Japan Matsuri. Konon, tema kali ini adalah Thank You Indonesia.

Well, berkenaan dengan bencana yang melanda Jepang beberapa waktu lalu, Indonesia telah menyumbangkan banyak juga untuk Jepang. Meskipun di telinga saya masih agak aneh saja; Indonesia yang notabene negara miskin dan masih berkembang, menyumbang kepada Jepang yang kaya dan merupakan negara maju.















Hm, sebelum acara itu juga saya menerima buletin tiga bulanan dari pihak kedutaan yang isinya cerita sumbangsih rakyat Indonesia, dari mulai siswa SD sampe pejabat. Ironis memang, selama bertahun-tahun saya terima dan baca itu majalah, isinya tak lain dan tak bukan hanya cerita-cerita sumbangsih warga negara Jepang kepada Indonesia.















Japan Matsuri kali ini luar biasa penuh orangnya. Berbekal minum air mineral, dikasih kipas dan koran Jepang gratis, saya dan teman pun keliling ke area diselenggarakannya Japan Matsuri ini. Luar biasa panas juga. Jadi perhatian kami untuk yang pertama kali adalah mengisi perut dulu. Terbayar sudah rasa lapar setelah kami menyantap sushi dan takoyaki yang mengantrinya lama sekali, OMG...
















Sambil leyeh-leyeh di tenda yang disediakan di depan panggung pertunjukan, kami melihat-lihat run down acara. Hm, akhirnya kami ikuti semua, kecuali pesta kembang api yang akan diadakan malam hari.















Acara pertama tentu saja tabuhan bedug Jepang, Taiko. Kemudian, ada tari-tarian dan arak-arakan Mikoshi. Lagi-lagi, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto bersama orang Jepang asli. (^_^)b

Jumat, 18 November 2011

Munas




















Kali ini jelajah kota tua saya ke Munas atau Museum Nasional atau sering disebut juga Museum Gajah.

Museum ini sering juga disebut dengan museum gajah. Tanya kenapa. Karena di bagian halaman depan museum ini terdapat patung gajah pemberian Raja Thailand. That’s all. Lainnya karena gedung ini peninggalan Belanda jadinya ya arsitekturnya bergaya eropa.

Museum ini memiliki 2 gedung saya pikir. Diantaranya ada semacam selasar penghubung yang dindingnya dari kaca, dan diluarnya ada semacam tempat theater terbuka yang bisa digunakan untuk pertunjukan-pertunjukan. Bersihnya kawasan ini membuat saya berdecak kagum juga.

Nah, sebelum kita masuk ke gedung, saya mau bercerita juga mengenai fasilitas yang ada di sana. Meski tidak sophisticated kayak Museum BI, museum ini memiliki area parkir bawah tanah yang cukup menampung banyak mobil. Di area parkir juga terdapat mushola yang cukup besar dan bersih.

















Gedung kedua yang terpisah dari bangunan pertama terdapat souvenir shop, restoran dan elevator yang menuju ke toilet atau ruang ganti. Disini terlalu banyak space kosong saya rasa. Namun, kebersihannya patut diacungi jempol. Kami pun mengadakan briefing sebelum memasuki museum sambil leyeh-leyeh di lantai selasar.

Senangnya, kami mendapatkan guide yang baik dan ramah. Ada tempat penitipan tas yang tidak terlalu besar di depan, tapi kami memilih membawa tas masing-masing.

Di bagian lobby terdapat peta museum, luas juga ternyata museum ini.
















Pertama-tama kami diajak ke bagian koleksi arca. Dari mulai arca Ganesha berikut legendanya beserta barang apa saja yang dibawa ditangannya sampe arca Adityawarman yang amat tinggi lagi besar.





















Well, hanya 2 cerita itu yang menarik hati saya. Ganesha karena dia dipakai sebagai lambang salah satu universitas terkenal di Indonesia dan Adityawarman karena keunikan ceritanya.

Adityawarman digambarkan sebagai seorang sadis yang juga killer, ditunjukkan dengan dia berpesta diatas tengkorak manusia dan minum darah dari tengkorak manusia-manusia yang dia bunuh. Semacam ritual katanya. Iih...

Nah, patung Adityawarman yang supergede ini ditemukan di Sumatra-kalau nggak salah, dan ada cerita unik mengenai penemuan arca ini. Bekas gupil/cacat mengkilat di kaki patung itu katanya akibat para petani yang sering mengasah arit mereka di arca yang waktu itu belum ditemukan... jadi deh cacat, hehe. Patung ini juga berjasa untuk museum ini, karena pernah ikut beberapa kali pameran di luar negeri.

Hm, hati saya sedikit lega mendengarnya. Setidaknya, dengan cara begitu, museum ini akan tetap lestari beserta isinya. Walaupun para pengunjung hanya diwajibkan membayar Rp. 2000 sekali masuk, namun setidaknya museum ini menemukan sumber lain untuk menggalang dana.

Setelah dari ruang arca, kami beralih ke lantai 2, koleksi emas dan perhiasan. Di area ini, no camera allowed, haha. Akhirnya saya cuma bisa berdecak kagum liat mahkota, perhiasan, tameng, senjata tangan, yang semuanya terbuat dari emas beserta batu permata. Subhanallah ...

Lanjut dari ruang emas dan perhiasan, kami menuju bagian barat museum ini banyak pintu yang perlu dibuka saya pikir. Seperti biasa, saya tidak melewatkan kesempatan untuk foto-foto.

















Di bagian koleksi umum, dipajang berbagai barang kebudayaan yang ada di Indonesia. Tempat tidur panggung, gamelan set, miniatur barong, pakaian adat, perabotan, perhiasan sederhana, perahu kayu orang papua, sampai totem yang tinggi menjulang ke langit-langit. Wow, seperti kita diajak berkeliling Indonesia!



















Kalau ke bagian ini saya pikir harus beramai-ramai ya, soalnya tempatnya agak singup/spooky gitu deh akibat penerangan yang remang-remang.

















Inilah akhir dari tur saya di museum Nasional. Highly recomended untuk siswa SD, SMP, SMA, kuliah, atau pasca kayak saya, hehehehe.

Kamis, 17 November 2011

Istana Negara Istana Rakyat (2)

















Kunjungan saya ke istana memang berkesan dan tidak mudah dilupakan. Apabila Anda ingin mengunjunginya, memang tidak dikenakan biaya, namun alangkah baiknya bila anda pergi beserta rombongan. Mengapa?

Begitu memasuki gerbang Sekretariat Negara, Anda akan menemui penjaga gerbang, hehe
















Ada satu pos keamanan yang mesti Anda lalui dulu. Kemudian ketika Anda berjalan lagi, Anda akan menemui semacam gedung souvenir shop+penitipan tas. Nah, Anda bisa mendaftarkan diri atau rombongan Anda disini. Agak susah juga ya kalau pergi sendiri tanpa rombongan, sebab yang akan dipanggil lewat pengeras suara adalah ketua rombongan.

Lho?
Seperti Borobudur dengan keterbatasan waktu kunjungan SAKING banyaknya orang yang datang berkunjung, begitu pula istana ini. jadi, kita akan menunggu di bangku-bangku yang tersedia sampai rombongan sebelumnya selesai tur dan diantar naik bis ke tempat pendaftaran itu.

Naik bis? Iya. Dari komplek sekretariat ke istana kita akan naik bis. Bisnya bagus kok dan ber-AC. Udah gitu jarak tempuhnya sekitar 2 menitan saja sampe istana. Sebelum naik bis sekali lagi kita akan di-screening oleh petugas keamanan. Oh iya, kamera, tas dan printilan lainnya dititipkan disini yaa...

Berikut ini gambar rutenya.
















Begitu nyampe komplek istana, kita akan langsung dapat pemandu tur. Waktu itu sih saya dengan mbak-mbak AD yang cantik lagi ramah, hehe.

Sebelum masuk istana, kita masuki dulu ruang pavilion. Di ruangan ini, kita akan menyaksikan pemutaran film tentang sejarah istana. Nah, berhubung toilet hanya disediakan di ruangan itu, dan tidak di tempat lainnya, pengunjung bisa memanfaatkan fasilitas toilet yang tersedia di sana.

Istana yang kita masuki adalah istana merdeka. Istana merdeka ini kayak tempat penyambutan tamu-tamu kenegaraan. Ada ruang-ruang untuk menerima tamu sesuai fungsi dan kepentingannya.

Dibagian tengah istana merdeka kita akan melihat koleksi keramik & beberapa patung dari jamannya presiden Soekarno. Selain itu, kita juga bisa melihat pameran foto-foto yang dibuat Ibu Ani, hobi barunya, hehe.

Gedung istana negara tidak boleh kami masuki karena presiden tinggal disana. Sayangnya memang, foto-foto pun tidak diijinkan, dan kayaknya peserta yang punya kamera hp juga nggak minat tuh foto-foto. Kami akhirnya berfoto bersama dengan menggunakan jasa fotografer istana. Filenya nggak boleh diminta, tapi hardcopynya dapat ditebus dengan uang Rp. 10000 saja *cring.

Seusai tur, kita masih dapat juga air mineral dari pihak istana. Oh iya, sekadar saran, harap membawa topi lebar atau kacamata hitam untuk menangkis panas, karena kita akan jalan-jalan di pelatarannya.

Sekian kunjungan kali ini, ayo mari kita ke istana.

Istana Negara Istana Rakyat (1)
















Program tur istana negara dan istana merdeka sebetulnya sudah ada semenjak tahun 2008 lalu. Gagasan dan implementasinya memang baru dilakukan di era SBY ini. Boleh juga. Istilah yang mereka junjung adalah istana negara istana rakyat.

Biarpun udah lama ada, saya baru bisa berkunjung kesana bulan Oktober lalu. Dengan program tur yang digagas salah satu komunitas di Jakarta, saya pun akhirnya kesampean berkunjung ke istana. Hehe, maksutnya jangan sampe deh saya begitu mengenal komplek istana di Thailand, tapi istana di negara sendiri gak kenal. Tak kenal maka tak sayang, kan...

Ini sepenggal informasi mengenai istana yang saya dapat dari wikipedia.

Istana Negara dan Istana Merdeka yang berada di satu kompleks di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, merupakan dua buah bangunan utama yang luasnya 6,8 hektare (1 hektare = 1 hektometer persegi = 10000 meter persegi) dan terletak di antara Jalan Medan Merdeka Utara dan Jalan Veteran, serta dikelilingi oleh sejumlah bangunan yang sering digunakan sebagai tempat kegiatan kenegaraan.

Dua bangunan utama adalah Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional (Monas)(Jalan Medan Merdeka Utara) dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai Ciliwung (Jalan Veteran). Sejajar dengan Istana Negara ada pula Bina Graha. Sedangkan di sayap barat antara Istana Negara dan Istana Merdeka, ada Wisma Negara.

Pada awalnya di kompleks Istana di Jakarta ini hanya terdapat satu bangunan, yaitu Istana Negara. Gedung yang mulai dibangun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan selesai 1804 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Siberg ini semula merupakan rumah peristirahatan luar kota milik pengusaha Belanda, J A Van Braam. Kala itu kawasan yang belakangan dikenal dengan nama Harmoni memang merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.

Pada tahun 1820 rumah peristirahatan van Braam ini disewa dan kemudian dibeli (1821) oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila berurusan di Batavia (Jakarta). Para gubernur jenderal waktu itu kebanyakan memang memilih tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan Dewan Hindia, setiap Rabu.

Rumah van Braam dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah.

Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, beberapa peristiwa penting terjadi di gedung yang dikenal sebagai Istana Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana) ini. Di antaranya menjadi saksi ketika sistem tanam paksa atau cultuur stelsel ditetapkan Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch. Lalu penandatanganan Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, yang pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh H.J. van Mook.

Pada mulanya bangunan seluas 3.375 m2 berarsitektur gaya Yunani Kuno ini bertingkat dua. Tapi pada 1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa ada perubahan yang berarti.

Sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, saat ini Istana Negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan, antara lain pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, kongres bersifat nasional dan internasional, dan jamuan kenegaraan.

Karena Istana Rijswijk mulai sesak, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dibangunlah istana baru pada kaveling yang sama, yang waktu itu dikenal dengan nama Istana Gambir. Istana yang diarsiteki Drossares pada awal masa pemerintahan RI sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan kerajaan Belanda diwakili A.H.J Lovinnk, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia.

Dalam upacara yang mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan Bendera Indonesia dinaikkan ke langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata ketika bendera Merah Putih dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka.

Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh kerajaan Belanda, pada 28 Desember 1949 Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan untuk pertama kalinya mendiami Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Istana Merdeka pertama kali diadakan pada 1950.

Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih dari 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Merdeka sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan negara.

Sebagai pusat pemerintahan negara, kini Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, antara lain Peringatan Detik-detik Proklamasi, upacara penyambutan tamu negara, penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar negara sahabat, dan pelantikan perwira muda (TNI dan Polri).

Bangunan seluas 2.400 m2 itu terbagi dalam beberapa ruang. Yakni serambi depan, ruang kredensial, ruang tamu/ruang jamuan, ruang resepsi, ruang bendera pusaka dan teks proklamasi. Kemudian ruang kerja, ruang tidur, ruang keluarga/istirahat, dan pantry (dapur).

Sepeninggal Presiden Soekarno, tidak ada lagi presiden yang tinggal di sini, kecuali Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden Soeharto yang menggantikan Soekarno memilih tinggal di Jalan Cendana. Tapi Soeharto tetap berkantor di gedung ini dengan men-set up sebuah ruang kerja bernuansa penuh ukir-ukiran khas Jepara, sehingga disebut sebagai Ruang Jepara serta lebih banyak berkantor di Bina Graha.



















Untuk mencapai kawasan ini cukup mudah memang. Letaknya yang berada di pusat kota Jakarta dapat diakses dari mana-mana. Kalau mau naik transjakarta bisa turun di shelter Harmoni, lalu jalan sedikit nyebrang kali sampe ketemu gerbang sekretariat negara.

Wait! Memangnya gratis?

GRATIS 100%, buka tiap Sabtu dan Minggu mulai dari pukul 09.00 - 13.00. Untuk kepentingan acara-acara kepresidenan tertentu terkadang istana ini tutup untuk umum. Misalnya acara 17-an atau Idul Fitri. Informasi lengkapnya dapat dilihat di website www.setneg.go.id.

Nah, ini beberapa informasi yang patut juga diketahui.
Informasi dan peraturan selama jelajah di Istana Negara :
1. Membawa kartu identitas asli (KTP, Kartu Pelajar/Mahasiswa, Paspor, atau
ID).
2. Berpakaian rapi (tidak memakai jeans, celana pendek, kaos oblong dan
sandal, kecuali anak dibawah 12 tahun dan berseragam sekolah).
3. Berperilaku sopan dan menghargai lingkungan Istana Kepresidenan sebagai
tempat tinggal Presiden dan keluarganya, serta tempat kerja Presiden
sehari-hari.
4. Pengunjung wajib mematuhi semua peraturan yang ditetapkan oleh Istana
Kepresidenan.
5. Pengunjung wajib memenuhi pengaturan yang dilakukan oleh petugas.
6. Peserta disarankan dresscode Batik

Sedangkan tata tertibnya ada lagiiiiii:
Tata Tertib Pengunjung Wisata Istana:
1. Dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak dan
benda-benda lain yang membahayakan.
2. Dilarang membawa tas, makanan, minuman di dalam lingkungan Istana
Kepresidenan.
3. Dilarang merokok di dalam lingkungan Istana.
4. Dilarang mengaktifkan & menggunakan handphone selama berada dalam
lingkungan Istana.
5. Dilarang menggunakan kamera di dalam lingkungan Istana, kecuali oleh
fotografer resmi Istana, fotografer Istana telah disediakan termasuk
pemrosesannya
6. Dilarang melakukan aktivitas politik dalam bentuk apapun selama mengikuti
tur.
7. Dilarang melakukan orasi atau demonstrasi, menggelar poster atau spanduk,
atau penyebaran pamplet selama melakukan tur.
8. Dilarang menggunakan busana atau atribut dengan tulisan, atau gambar,
atau simbol, atau bentuk yang patut diduga sebagai perwujudan butir 7, 8.
9. Dilarang membuat keributan, kegaduhan, keonaran di dalam lingkungan
Istana.

Oktoberfest 2011




















Oktoberfest, or Wiesn, is a 16–18 day beer festival held annually in Munich, Bavaria, Germany, running from late September to the first weekend in October. It is one of the most famous events in Germany and is the world's largest fair, with more than 5 million people attending every year. The Oktoberfest is an important part of Bavarian culture, having been held since 1810. Other cities across the world also hold Oktoberfest celebrations, modeled after the Munich event.

The Munich Oktoberfest originally took place during the sixteen days up to and including the first Sunday in October. In 1994, the schedule was modified in response to German reunification so that if the first Sunday in October falls on the 1st or 2nd, then the festival would go on until October 3 (German Unity Day). Thus, the festival is now 17 days when the first Sunday is October 2 and 18 days when it is October 1. In 2010, the festival lasted until the first Monday in October, to mark the 200-year anniversary of the event. The festival is held in an area named the Theresienwiese (field, or meadow, of Therese), often called Wiesn for short, located near Munich's center.

Only beer which is brewed within the city limits of Munich is allowed to be served in this festival. Upon passing this criterion, a beer is designated Oktoberfest Beer. Oktoberfest Beer is a registered Trademark by the Club of Munich Brewers. Large quantities of German beer are consumed, with almost 7 million liters served during the 16 day festival in 2007. Visitors may also enjoy a wide variety of traditional food such as Hendl (chicken), Schweinebraten (roast pork), Schweinshaxe (grilled ham hock), Steckerlfisch (grilled fish on a stick), Würstl (sausages) along with Brezn (Pretzel), Knödel (potato or bread dumplings), Kasspatzn (cheese noodles), Reiberdatschi (potato pancakes), Sauerkraut or Rotkohl/Blaukraut (red cabbage) along with such Bavarian delicacies as Obatzda (a spiced cheese-butter spread) and Weisswurst (a white sausage).

(wikipedia)



















Oktober festival kali ini tidak serame Sommerfest yang saya tulis lalu. Makanan Eropa-nya lebih dikit dan pertunjukannya tidak ada, sebagai gantinya ada talkshow sama enterpreneur muda yang berhasil membangun perusahaan laser di Indonesia yang lisensinya dari Jerman. Karena kesannya kaku, peserta takshownya dikit juga... *ngantuk. Hehe

Katanya sih mau ada pertunjukan band & pesta kembang api, namun saya buru-buru pulang dari acara karena mendung menggelayut tebal. Hm, kabarnya sih trus hujan semalaman. Entah bagaimana akhir acaranya.

Rabu, 16 November 2011

Schmutzer Primate Center




















Schmutzer Primate Center sebenernya adalah kebun binatang Ragunan di Jakarta. Kepikiran judul dan nama itu untuk album foto karena seorang teman yang foto di depan tulisan Schmutzer Primate Center itu, setelah ditanya itu foto dimana, eh dia baru ngaku kalo itu di bonbin Ragunan.

Sepertinya kawasan yang dinamakan Schmutzer ini adalah hasil yayasan dengan nama tersebut. Programnya adalah perlindungan primata, mungkin, tebakan saya.

Kenapa saya bisa ke tempat ini?

Pada awalnya saya ogah-ogahan melihat tempat bermain saya waktu kecil ini, namun teman baik saya mati-matian merayu saya merogoh kocek Rp. 4500 untuk tiket masuk area. Hm, tak ada salahnya toh saya berkunjung....

Dulu waktu kecil sepertinya orang tua saya antusias dan senang sekali mengajak saya kesini. Dulu tempat ini terasa begitu luas karena kaki saya yang kecil, tapi sekarang tempat ini terasa kecil karena kaki saya yang panjang *senyumm


















Oh ya, amat tidak disarankan pergi ke tempat ini pada saat libur lebaran. Bertruk-truk orang akan diturunkan dari truk dan langsung memasuki area untuk rekreasi bersama keluarga. Bisa dikatakan puncak stress-nya hewan bonbin adalah ketika lebaran, saat jumlah manusia yang datang 10 x lipat banyaknya daripada jumlah hewan.

Walhasil, boro-boro mau liat hewan, yang dilihat duluan adalah lautan manusia yang menyemut di kandang-kandang hewan. OMG!

Btw, bukan Nona namanya kalau nggak foto peta dulu untuk panduan perjalanan :-)
















Gambar hewan-hewannya? Ada beberapa, tapi malas aplotnyah...

Hehe, akhir cerita ditutup dengan foto Piranha; from Amazon.com to Indonesia.co.id

International Youth Day 2011
















Inilah dia puncak acara International Youth Day Conference 2011.

Acara International Youth Day ini mengambil tempat di @america, pusat kebudayaan Amerika, yang selama ini cuma saya dengar namanya saja dan belum pernah ke sana. Dengan berlokasi di mal prestisius Pacific Place, dan settingan ruangan bagus n cozy, saya senang sekali pergi ke acara itu.

















Tema IYD 2011 kali ini multikulturalisme. Berkat essay tentang multikulturalisme Amerika-Indonesia yang saya buat, essay tersebut mengantar saya pada acara ini. *excited banget

Acara pembukaannya, ada tari-tarian Indonesia, pembicara dari kedutaan Amerika dan aktivis Indonesia. Acara puncaknya apa? Ya konferensi itu, yang ergh menurut saya lebih mirip diskusi kelompok. Maka dari itu, karena keterbatasan waktu juga lah kami menyelesaikan acara dengan hasil 'seadanya'.






















Lihatlah Ipad yang saya pegang ini. Ipad ini dapat dipinjam dengan jaminan ID card dan mengisi keanggotaan di @america. Semuanya digital. Didalam Ipad ini juga ada e-book. Hmph, tapi gambar depannya itu lho, rasanya provokatif sekali dan bikin mupeng.





















Senangnya, kami berfoto bersama satu grup. See u next time my young-friend!

Tebak Umur

















Judul kali ini agak provokatif ya. Hehe, sebetulnya iya.

Lagi-lagi akibat keisengan nge-'like' page aneh-aneh di fb, akhirnya terdampar juga saya menjadi salah satu peserta yang terpilih untuk International Youth Day Conference 2011.

Dari saya yang seumur hidup belum pernah kepilih kalo ikutan begituan, kali ini saya seneng banget dong, alhamdulillah... diumur saya yang udah seperempat abad ini saya masih diakui.

Ugh, kenyataannya, yang hadir dan terpilih adalah para anak muda yang umurnya paling tidak 5-8 tahun di bawah saya. Agak kuciwa, tapi saya bener-bener kagum...

Dulu sewaktu seumur mereka, saya nggak ada bayangan keidealisan, atau cita-cita, karena terbatasnya dana dan sumber informasi yang saya terima. Menyesali masa muda? Hehe, sedikit. Namun, saya berpikir bahwa yang saya jalani selama inilah yang terbaik untuk saya *berusaha.

Mereka tidak ada yang mengetahui umur saya, kecuali panitia tentunya. Jadi saya sih oke-oke aja...

Well, ini gambar-gambar ketika sedang pre-conference di gedung Mercy Corps, salah satu NGO yang saya setengah mampus nglamar kerjanya.